Senin, 12 Agustus 2013

8 Belas


Karya : Rezzhna Ombak
 

Masih terlukis jelas dibenaku, saat Dia datang ketika rinai menghujam senja. Bumi dihentak keras pesonanya, dan mendung pun berlari menatap anggunnya. Pelangi tersipu malu kalah indah dengan senyumnya, dan sang senja pun kini tersenyum kembali bersana tawanya. Yah aku tak akan melupakan saat dia melempar senyum manis tepat di beranda hatiku yang kala itu gundah gulana. Dengan langkah malu-malu kucoba mendekat dan menyapa sembari bertanya siapa namanya. Sang ombak seperti ikut bersenandung kala ia dengan manja menyebutkan nama, “Widia”. Nyiur seakan menari melahap bahagia hatiku mendengar balasan sapa.
“Apa yang tengah kau tunggu disini widia?” Kubuka awal pembicaraan setelah tau siapa Dia.
“Aku tengah menunggu rinai berhenti menyembunyikan senja, sebelum malam kembali datang mencuri indahnya” Jawaban yang membuatku kembali membutuhkan waktu yang cukup lama untuk merangkai kata.
“Seandainya hujan menyembunyikan senja hingga malam kembali datang, apakah kau akan tetap menunggu?”
“Tentu tidak, aku akan menungu esok menjelang dan kembali bercengkrama dengan senja, itu pun jika rinai menghendakinya”
“Bolehkah aku menemani?”
“Jika memang kau tidak berpikir waktumu akan terbuang sia-sia, kenapa tidak”
“Kau sering disini?”
“Setiap sore, disinilah tempatku menikmati secangkir senja”
Aku menghabiskan waktu dengannya hingga rinai berhenti menghujam, dan senja pun datang bersama lembayung yang kian mesra. Aku berandai-andai dalam hati, jika saja setiap saat bisa kunikmati sore seperti ini, jadilah aku orang yang paling bahagia di dunia. Mungkin ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama. Namun, aku sendiri tak tau apa itu cinta, dan apa yang dirasakan sekarang. Namun, hati ini seperti selalu melompat kegirangan kala aku menggeser bola mataku menatapnya. Suasana hening begitu saja, kala kami berdua terpuka melihat senja tersenyum pada dunia.
“Nampaknya malam akan segera tiba” Suaranya memecah hening bersama senja yang mulai bersembunyi.
“Benarkah?” Aku menjawab spontan dengan sedikit kekagetan karena lamunanku tentangnya.
“Tentu, apa saja yang kau lakukan tadi? Apakah hanya memberi tatapan kosong tanpa makna?”
“Tentu tidak, aku tak sengaja melukiskan bayangmu dikanvas awan sana” Tanpa sadar aku mengeluarkan jawaban seperti itu, wajahku merah padam mempertanggung jawabkan kata yang keluar itu.
“Aku harus pulang, malam sudah menjelang, sampai ketemu pada senja yang akan datang” lemparan senyum terakhir yang kembali membuat hatiku melompat kegirangan.
Aku pulang kerumah dengan senyum mengembang ketika wajahnya terlintas dipikiranku. Berbeda sekali ketika aku pergi dan pulang kerumah, saat pergi aku dirundung duka, namun aku pulang dengan senyum bahagia.  Aku seperti baru saja menikmati pelangi saat badai pergi. Tersenyum sendiri menatap setiap sudut kamar yang penuh dengan poster tak jelas bergambar tengkorak memainkan gitar.  Aku tandai sebuah almanak meja yang terpampang, tepat di tanggal Delapan Belas aku bertemu dan pertama kalinya menatap keindahan yang tak pernah kutemui sebelumnya. Peluk dan cium kuhujamkan pada almanak seperti pasien RSJ tengah kumat. Tibalah saat yang aku tunggu. Sang Fajar sudah menyapa, artinya sebentar lagi aku akan bertemu keindahan itu lagi. Kulalui hari-hari tak seperti biasanya, kali ini senyum itu selalu bertebaran dari hatiku, menyapa setiap sudut dunia. Dan saat yang kutunggu pun kini tiba. Satu jam didepan cermin kuhabiskan untuk memoles wajah kusamku. Dengan langkah pelan namun pasti aku beranjak ketempat dimana dia selalu mnghabiskan waktu untuk menikmati secangkir senja. Sebuah walkman tua pun mengiringi langkahku dengan klasik.
***
Satu jam sudah aku menunggu sosoknya yang tak kunjung datang, gelisah pun mula menjamah. Khawatir dan penasaran mulai merundung. Ingin kucari dan kutemui dia andai tau kemana kaki ini akan kulangkahkan. Sosoknya tak jua muncul, hanya bayangnya yang menemani hingga senja dipenghujung lelah akan penantian. Malam pun kembai datang mengulum murungnya sang senja melihat kegelisahanku.
***
Seriap sore kudatangi tempat itu berharap-harap cemas dalam kerisauan untuk bisa bertemu keindahan itu kembali.
***
Dua Puluh Sembilan hari sudah aku menghabiskan waktuku menunggu kedatanganya kembali, namun tak jua kutemui. Mungkin besok adalah hari terakhir aku menunggu, hari ke Tiga Puluh, dan kembali tepat ditanggal Delapan Belas. Aku bercerita tentang kegundahanku pada sang senja, namun tak ada jawaban. Hanya hening yang tercipta dari banyaknya rangkaian cerita. Aku pulang dengan kehampaan dan murung yang kembali datang menjamah hatiku, menghapus senyum yang dulu pernah ia lemparkan diberanda hati. Hari yang aku tunggu pun tiba, hari ke Tiga Puluh pada tanggal Delapan Belas. Sejak sang fajar menyingsing aku sudah duduk menunggu ditempat dulu kami pernah bertemu. Sang waktu Nampak enggan untuk berhenti berputar, terus berjalan hingga waktu sang senja untuk datang. Namun  sosok itu tak jui kutemui. Entah dimana dan kemana dia aku tak pernah tau. Tak ada tanda jejak yang bisa menuntunku untuk mencarinya. Keputusasaan kini mulai datang, dan tibalah saatnya pencarian dan penantian ini ku akhiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar