Karya : Rezzhna Ombak
Masih terlukis jelas dibenaku,
saat Dia datang ketika rinai menghujam senja. Bumi dihentak keras pesonanya,
dan mendung pun berlari menatap anggunnya. Pelangi tersipu malu kalah indah
dengan senyumnya, dan sang senja pun kini tersenyum kembali bersana tawanya.
Yah aku tak akan melupakan saat dia melempar senyum manis tepat di beranda
hatiku yang kala itu gundah gulana. Dengan langkah malu-malu kucoba mendekat
dan menyapa sembari bertanya siapa namanya. Sang ombak seperti ikut
bersenandung kala ia dengan manja menyebutkan nama, “Widia”. Nyiur seakan
menari melahap bahagia hatiku mendengar balasan sapa.
“Apa yang tengah kau tunggu
disini widia?” Kubuka awal pembicaraan setelah tau siapa Dia.
“Aku tengah menunggu rinai
berhenti menyembunyikan senja, sebelum malam kembali datang mencuri indahnya”
Jawaban yang membuatku kembali membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
merangkai kata.
“Seandainya hujan menyembunyikan
senja hingga malam kembali datang, apakah kau akan tetap menunggu?”
“Tentu tidak, aku akan menungu
esok menjelang dan kembali bercengkrama dengan senja, itu pun jika rinai
menghendakinya”
“Bolehkah aku menemani?”
“Jika memang kau tidak berpikir
waktumu akan terbuang sia-sia, kenapa tidak”
“Kau sering disini?”
“Setiap sore, disinilah tempatku
menikmati secangkir senja”
Aku menghabiskan waktu dengannya
hingga rinai berhenti menghujam, dan senja pun datang bersama lembayung yang
kian mesra. Aku berandai-andai dalam hati, jika saja setiap saat bisa kunikmati
sore seperti ini, jadilah aku orang yang paling bahagia di dunia. Mungkin ini
yang dinamakan cinta pada pandangan pertama. Namun, aku sendiri tak tau apa itu
cinta, dan apa yang dirasakan sekarang. Namun, hati ini seperti selalu melompat
kegirangan kala aku menggeser bola mataku menatapnya. Suasana hening begitu
saja, kala kami berdua terpuka melihat senja tersenyum pada dunia.
“Nampaknya malam akan segera
tiba” Suaranya memecah hening bersama senja yang mulai bersembunyi.
“Benarkah?” Aku menjawab spontan
dengan sedikit kekagetan karena lamunanku tentangnya.
“Tentu, apa saja yang kau lakukan
tadi? Apakah hanya memberi tatapan kosong tanpa makna?”
“Tentu tidak, aku tak sengaja
melukiskan bayangmu dikanvas awan sana” Tanpa sadar aku mengeluarkan jawaban
seperti itu, wajahku merah padam mempertanggung jawabkan kata yang keluar itu.
“Aku harus pulang, malam sudah
menjelang, sampai ketemu pada senja yang akan datang” lemparan senyum terakhir
yang kembali membuat hatiku melompat kegirangan.
Aku pulang kerumah dengan senyum
mengembang ketika wajahnya terlintas dipikiranku. Berbeda sekali ketika aku
pergi dan pulang kerumah, saat pergi aku dirundung duka, namun aku pulang
dengan senyum bahagia. Aku seperti baru
saja menikmati pelangi saat badai pergi. Tersenyum sendiri menatap setiap sudut
kamar yang penuh dengan poster tak jelas bergambar tengkorak memainkan
gitar. Aku tandai sebuah almanak meja
yang terpampang, tepat di tanggal Delapan Belas aku bertemu dan pertama kalinya
menatap keindahan yang tak pernah kutemui sebelumnya. Peluk dan cium kuhujamkan
pada almanak seperti pasien RSJ tengah kumat. Tibalah saat yang aku tunggu.
Sang Fajar sudah menyapa, artinya sebentar lagi aku akan bertemu keindahan itu
lagi. Kulalui hari-hari tak seperti biasanya, kali ini senyum itu selalu
bertebaran dari hatiku, menyapa setiap sudut dunia. Dan saat yang kutunggu pun
kini tiba. Satu jam didepan cermin kuhabiskan untuk memoles wajah kusamku.
Dengan langkah pelan namun pasti aku beranjak ketempat dimana dia selalu
mnghabiskan waktu untuk menikmati secangkir senja. Sebuah walkman tua pun
mengiringi langkahku dengan klasik.
***
Satu jam sudah aku menunggu
sosoknya yang tak kunjung datang, gelisah pun mula menjamah. Khawatir dan
penasaran mulai merundung. Ingin kucari dan kutemui dia andai tau kemana kaki
ini akan kulangkahkan. Sosoknya tak jua muncul, hanya bayangnya yang menemani
hingga senja dipenghujung lelah akan penantian. Malam pun kembai datang
mengulum murungnya sang senja melihat kegelisahanku.
***
Seriap sore kudatangi tempat itu
berharap-harap cemas dalam kerisauan untuk bisa bertemu keindahan itu kembali.
***
Dua Puluh Sembilan hari sudah aku
menghabiskan waktuku menunggu kedatanganya kembali, namun tak jua kutemui.
Mungkin besok adalah hari terakhir aku menunggu, hari ke Tiga Puluh, dan
kembali tepat ditanggal Delapan Belas. Aku bercerita tentang kegundahanku pada
sang senja, namun tak ada jawaban. Hanya hening yang tercipta dari banyaknya
rangkaian cerita. Aku pulang dengan kehampaan dan murung yang kembali datang
menjamah hatiku, menghapus senyum yang dulu pernah ia lemparkan diberanda hati.
Hari yang aku tunggu pun tiba, hari ke Tiga Puluh pada tanggal Delapan Belas.
Sejak sang fajar menyingsing aku sudah duduk menunggu ditempat dulu kami pernah
bertemu. Sang waktu Nampak enggan untuk berhenti berputar, terus berjalan
hingga waktu sang senja untuk datang. Namun
sosok itu tak jui kutemui. Entah dimana dan kemana dia aku tak pernah
tau. Tak ada tanda jejak yang bisa menuntunku untuk mencarinya. Keputusasaan
kini mulai datang, dan tibalah saatnya pencarian dan penantian ini ku akhiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar