Selasa, 16 Juli 2013

Waktu


Karya : Rezzhna Ombak

Tak pernah ada yang tau tentang kematian, Tuhan yang mengatur semuanya. Hari ini, esok, lusa, minggu depan, bulan depan, tahun depan, atau mungkin hanya tinggal lima menit lagi kita akan mati, Tuhan telah membuat rencana. Seperti kisah yang kualami kali ini, aku tak pernah menyangka kalau ternyata umur yang sudah di ujung tanduk tidak menjadi patokan sebuah kematian. Tetapi lelaki pujaanku, lelaki yang sehat, cerdas, tampan, dan seperti tak ada sedikitpun penyakit yang tega menggerogoti tubuh indahnya. Tapi kenyataan berkata lain, dia yang lebih dulu meninggalkan sejuta keindahan yang dititipkan-Nya pada kami berdua.
***
Seperti biasa, aku kembali menghitung hari dimana aku masih bisa menghirup indahnya aroma kehidupan. Aku selalu memberikan tanda pada angka-angka yang berderet diselembar almanak yang terpampang dimeja kamar rumah sakit tepat didekat tempat tidur. Tanda itu menunjukan bahwa aku masih bisa melawan penyakit Leukimia  yang tak henti-hentinya menggerogoti tubuhku sejak satu tahun silam. Pelbagai rumah sakit ternama dibelahan dunia ini sudah aku datangi, namun hasilnya nihil. Bahkan aku sempat divonis oleh salah satu dokter dirumah sakit Johns Hopkins, bahwasannya umurku hanya tinggal tiga puluh hari lagi. Maka dari itu aku lebih memilih untuk dirawat di Indonesia. Sungguh kejadian yang miris, membuatku memberikan semua rasa pasrah pada Tuhan. Namun, kenyataannya tidak dengan semangatku untuk tetap hidup. Genap sudah dua puluh hari aku bisa melewatinya meskipun hanya diatas sebuah tempat tidur. Sepi selalu menjadi selimutku. Beruntung aku memiliki seorang lelaki yang selalu setia meluangkan waktu ditengah kesibukan dalam menjalani harinya. Ya, waktu yang dia luangkan hanya untuk menemui dan bertanya tentang keadaanku, sungguh hal itu membuat semangat hidup semakin bertambah. Namanya Roni, lelaki yang sudah menjalin hubungan denganku sekitar lima tahun lamanya. Jauh sebelum aku terjangkit penyakit ini dia adalah sosok yang selalu cerahkan hari-hariku, dan setelah satu tahun lamanya aku terbaring ditempat tidur bertahan dari hantaman Leukemia yang terus menggerogoti tubuh, dialah lelaki yang selalu menyemangati, selalu berada disampingku untuk membunuh sepi yang selalu datang menghampiri tubuh rentaku. Di hari ke dua puluh satu masa hidupku ini, Roni kembali datang menjenguk, membawakan bunga kesukaanku yang biasa kami beli bersama-sama di pedagang-pedagang pinggir jalan.
“Sayang kamu sudah mendingan?” Tanya Roni lesu melihat keadaanku yang hanya bisa terbaring.
“Iya, aku gak apa-apa ko, kamu tenang aja?” Jawabku dengan semangat yang dipaksakan.
“Sayang, coba kamu tebak aku bawain apa buat kamu?” Roni menggodaku dengan manjanya.
“Kamu bawa apalagi, please jangan makanan ya sayang?” Jawabku lirih.
“Bukan kok, aku bawain ini spesial, bunga kesukaanmu, bunga yang sama-sama kita kagumi dan sukai” Roni menyodorkan setangkai mawar yang tadi disembunyikannya dibelakang punggung.
Bulir air di mataku menetes melihat perhatian Roni yang tulus terhadapku, perhatian yang tanpa mengharap pamrih.
“Hey, kenapa kamu nangis, kamu gak suka dengan bunga yang aku bawa, aku minta maaf kalo kamu gak suka” Roni salah tingkah melihat air mataku menetes
“Gak ko sayang, aku cuma terharu dengan semua yang kamu lakuin, aku gak pernah berpikir sampai sejauh ini disisa hidupku. Yang aku pikirkan hanya bagaimana caranya agar aku tetap bisa merasakan indahnya kasih sayang kamu”
“Kamu akan selalu merasakan semuanya Nita. Aku akan berikan semuanya yang ada dalam jiwa aku, gak akan aku biarin tersisa meski hanya sekecil debu” Roni meyakinkanku.
“Tapi Ron, kamu ingat kan apa kata dokter itu?”
“Dokter itu bukan Tuhan, dan yang menentukan hidup dan mati itu bukan dokter, tapi Tuhan”
“Tapi Ron…”
“Udah lah kita jangan ngebahas soal itu lagi, sekarang yang penting kamu terus semangat dan berusaha. Aku akan selalu dukung kamu. Genggam tangan aku, rasakan ketulusan ini” Roni menyodorkan tangannya ke arahku.
“Iya Ron makasih”
***
 Sekarang sudah dua puluh sembilan hari berlalu, berarti masa hidupku hanya tinggal satu hari lagi. Samar kulihat orang tua dan keluarga sudah berkumpul dikamar rumah sakit tempatku dirawat, namun satu sosok yang ku cari dan kutunggu tak jua terlihat. Sosok Roni tak jua datang. Perasaanku mulai tak menentu, tiba-tiba rasa khawatir datang menyelimuti hati, sosok Roni selalu terlintas difikiran. Keputus asaan kini berkecamuk dalam diri, haruskah ku mati karena takdir, ataukah aku harus mati karena bunuh diri? Aku mengambil handphone yang ada di pinggir bantalku dengan lemasnya, berharap bisa sekedar mendengar suara Adit atau bahkan melihat raut wajah Adit sebelum ku menutup mata untuk selamanya.
“Kamu mau apa sayang?” Mamaku bertanya dengan penuh kasih sayangnya.
“Aku mau telepon Roni mah, aku mau ketemu dia”
“Yasudah biar mama aja ya yang telepon”
“Tapi ma aku mau bicara sama Roni, aku khawatir ama dia kenapa dia belum jua datang hari ini menjenguku”
“iya biar mama telepon dulu nanti kamu yang bicara”
Mamaku menekan nomer Roni dihandphone dan mulai menekan tombol berwarna hijau pada hanphone guna memanggil. Nuuut, nuuut, sebuah suara tanda tersambung kini sudah terdengar, aku pun meminta handphone itu dari mamaku.
“Hallo Ron, assalamualaikum kamu kemana aja?” Tanyaku penasaran.
“Hallo, waalaikum salam ini siapa?” terdengar suara jawaban penuh isak tangis.
“Hallo Ron ini aku Nita, ini siapa, ada apa dengan Roni, Roni kemana?” Air mataku mulai bercucuran tak terbendung.
“Roni…” Tangis terdengar makin keras.
Namun, tiba-tiba sosok Roni sudah berada tepat didepan pintu kamar rumah sakit dengan cahaya terang yang amat menyilaukan mata. Roni kembali berbagi senyum indahnya seperti biasa kala ia melihatku.
“Ayo Nit, kamu ikut aku” Roni menyodorkan tangannya mengajaku.
“Kita mau kemana Ron?” Tanyaku penasaran.
“Kita akan kesebuah tempat dimana kita bisa merajut kisah penuh keabadian”
“Baiklah, tunggu sebentar aku mau meminta ijin”
“Kamu tak perlu meminta ijin”
Aku dan Roni terbang mengikuti sebercak cahaya yang semakin terang. Genggaman tangan Roni pun kurasakan begitu penuh ketulusan.
“Kita akan bahagia ditempat itu Ron?”
“Tentu…” Roni menatapku coba meyakinkan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar