Karya : Rezzhna Ombak
Tak
pernah ada yang tau tentang kematian, Tuhan yang mengatur semuanya. Hari ini, esok,
lusa, minggu depan, bulan depan, tahun depan, atau mungkin hanya tinggal lima
menit lagi kita akan mati, Tuhan telah membuat rencana. Seperti kisah yang
kualami kali ini, aku tak pernah menyangka kalau ternyata umur yang sudah di
ujung tanduk tidak menjadi patokan sebuah kematian. Tetapi lelaki pujaanku, lelaki
yang sehat, cerdas, tampan, dan seperti tak ada sedikitpun penyakit yang tega
menggerogoti tubuh indahnya. Tapi kenyataan berkata lain, dia yang lebih dulu
meninggalkan sejuta keindahan yang dititipkan-Nya pada kami berdua.
***
Seperti
biasa, aku kembali menghitung hari dimana aku masih bisa menghirup indahnya
aroma kehidupan. Aku selalu memberikan tanda pada angka-angka yang berderet diselembar
almanak yang terpampang dimeja kamar rumah sakit tepat didekat tempat tidur.
Tanda itu menunjukan bahwa aku masih bisa melawan penyakit Leukimia yang tak henti-hentinya menggerogoti tubuhku
sejak satu tahun silam. Pelbagai rumah sakit ternama dibelahan dunia ini sudah
aku datangi, namun hasilnya nihil. Bahkan aku sempat divonis oleh salah satu
dokter dirumah sakit Johns Hopkins, bahwasannya umurku hanya tinggal tiga puluh
hari lagi. Maka dari itu aku lebih memilih untuk dirawat di Indonesia. Sungguh
kejadian yang miris, membuatku memberikan semua rasa pasrah pada Tuhan. Namun, kenyataannya
tidak dengan semangatku untuk tetap hidup. Genap sudah dua puluh hari aku bisa melewatinya
meskipun hanya diatas sebuah tempat tidur. Sepi selalu menjadi selimutku. Beruntung
aku memiliki seorang lelaki yang selalu setia meluangkan waktu ditengah
kesibukan dalam menjalani harinya. Ya, waktu yang dia luangkan hanya untuk
menemui dan bertanya tentang keadaanku, sungguh hal itu membuat semangat hidup semakin
bertambah. Namanya Roni, lelaki yang sudah menjalin hubungan denganku sekitar
lima tahun lamanya. Jauh sebelum aku terjangkit penyakit ini dia adalah sosok
yang selalu cerahkan hari-hariku, dan setelah satu tahun lamanya aku terbaring ditempat
tidur bertahan dari hantaman Leukemia yang terus menggerogoti tubuh, dialah lelaki
yang selalu menyemangati, selalu berada disampingku untuk membunuh sepi yang
selalu datang menghampiri tubuh rentaku. Di hari ke dua puluh satu masa hidupku
ini, Roni kembali datang menjenguk, membawakan bunga kesukaanku yang biasa kami
beli bersama-sama di pedagang-pedagang pinggir jalan.
“Sayang
kamu sudah mendingan?” Tanya Roni lesu melihat keadaanku yang hanya bisa
terbaring.
“Iya,
aku gak apa-apa ko, kamu tenang aja?” Jawabku dengan semangat yang dipaksakan.
“Sayang,
coba kamu tebak aku bawain apa buat kamu?” Roni menggodaku dengan manjanya.
“Kamu
bawa apalagi, please jangan makanan ya sayang?” Jawabku lirih.
“Bukan
kok, aku bawain ini spesial, bunga kesukaanmu, bunga yang sama-sama kita kagumi
dan sukai” Roni menyodorkan setangkai mawar yang tadi disembunyikannya
dibelakang punggung.
Bulir
air di mataku menetes melihat perhatian Roni yang tulus terhadapku, perhatian
yang tanpa mengharap pamrih.
“Hey,
kenapa kamu nangis, kamu gak suka dengan bunga yang aku bawa, aku minta maaf
kalo kamu gak suka” Roni salah tingkah melihat air mataku menetes
“Gak
ko sayang, aku cuma terharu dengan semua yang kamu lakuin, aku gak pernah berpikir
sampai sejauh ini disisa hidupku. Yang aku pikirkan hanya bagaimana caranya
agar aku tetap bisa merasakan indahnya kasih sayang kamu”
“Kamu
akan selalu merasakan semuanya Nita. Aku akan berikan semuanya yang ada dalam
jiwa aku, gak akan aku biarin tersisa meski hanya sekecil debu” Roni
meyakinkanku.
“Tapi
Ron, kamu ingat kan apa kata dokter itu?”
“Dokter
itu bukan Tuhan, dan yang menentukan hidup dan mati itu bukan dokter, tapi Tuhan”
“Tapi
Ron…”
“Udah
lah kita jangan ngebahas soal itu lagi, sekarang yang penting kamu terus semangat
dan berusaha. Aku akan selalu dukung kamu. Genggam tangan aku, rasakan
ketulusan ini” Roni menyodorkan tangannya ke arahku.
“Iya
Ron makasih”
***
Sekarang sudah dua puluh sembilan hari berlalu,
berarti masa hidupku hanya tinggal satu hari lagi. Samar kulihat orang tua dan
keluarga sudah berkumpul dikamar rumah sakit tempatku dirawat, namun satu sosok
yang ku cari dan kutunggu tak jua terlihat. Sosok Roni tak jua datang.
Perasaanku mulai tak menentu, tiba-tiba rasa khawatir datang menyelimuti hati,
sosok Roni selalu terlintas difikiran. Keputus asaan kini berkecamuk dalam
diri, haruskah ku mati karena takdir, ataukah aku harus mati karena bunuh diri?
Aku mengambil handphone yang ada di pinggir bantalku dengan lemasnya, berharap
bisa sekedar mendengar suara Adit atau bahkan melihat raut wajah Adit sebelum
ku menutup mata untuk selamanya.
“Kamu
mau apa sayang?” Mamaku bertanya dengan penuh kasih sayangnya.
“Aku
mau telepon Roni mah, aku mau ketemu dia”
“Yasudah
biar mama aja ya yang telepon”
“Tapi
ma aku mau bicara sama Roni, aku khawatir ama dia kenapa dia belum jua datang
hari ini menjenguku”
“iya
biar mama telepon dulu nanti kamu yang bicara”
Mamaku
menekan nomer Roni dihandphone dan mulai menekan tombol berwarna hijau pada
hanphone guna memanggil. Nuuut, nuuut, sebuah suara tanda tersambung kini sudah
terdengar, aku pun meminta handphone itu dari mamaku.
“Hallo
Ron, assalamualaikum kamu kemana aja?” Tanyaku penasaran.
“Hallo,
waalaikum salam ini siapa?” terdengar suara jawaban penuh isak tangis.
“Hallo
Ron ini aku Nita, ini siapa, ada apa dengan Roni, Roni kemana?” Air mataku
mulai bercucuran tak terbendung.
“Roni…”
Tangis terdengar makin keras.
Namun,
tiba-tiba sosok Roni sudah berada tepat didepan pintu kamar rumah sakit dengan
cahaya terang yang amat menyilaukan mata. Roni kembali berbagi senyum indahnya
seperti biasa kala ia melihatku.
“Ayo
Nit, kamu ikut aku” Roni menyodorkan tangannya mengajaku.
“Kita
mau kemana Ron?” Tanyaku penasaran.
“Kita
akan kesebuah tempat dimana kita bisa merajut kisah penuh keabadian”
“Baiklah,
tunggu sebentar aku mau meminta ijin”
“Kamu
tak perlu meminta ijin”
Aku
dan Roni terbang mengikuti sebercak cahaya yang semakin terang. Genggaman
tangan Roni pun kurasakan begitu penuh ketulusan.
“Kita
akan bahagia ditempat itu Ron?”
“Tentu…”
Roni menatapku coba meyakinkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar