Selasa, 16 Juli 2013

Atap Besi


Karya : Rezzhna Ombak

Hidup ini indah jika menikmatinya, akan terasa berat jika kita membebaninya dengan pemikiran-pemikiran berbau sampah. Bermimpi boleh saja, asal jangan jadikan bermimpi itu sebagai profesi. Bermimpi itu hanya sebagai selingan dikehidupan kalian, agar tidak terlalu jenuh dengan perjalanan usia yang tengah ditempuh. Tapi itu semua tak berlaku untukku. Aku sudah mewujudkan semua mimpi, jadi tak ada lagi impian-impian konyol yang mengganggu.
Villa Leopolda dengan istri cantik nan setia dan secangkir bahagia, selalu tersaji dipagi indah kota Belgia. Villa bergaya Riviera Prancis ini aku beli sekitar dua tahun yang lalu dari milyuner asal Rusia, Mikhail Prokhorov dengan harga $736 juta. Mungkin hanya mimpi bagi kalian memiliki uang sebanyak itu. Indah memang menjadi orang terkaya di dunia. Setiap hari kerjaku hanya meracik diksi dengan sedikit bumbu larik ilusi. Sehingga mudah bagiku merangkai sajak meski yang terhempas diujung malam sekalipun. Tak pernah rasanya aku mengalami yang namanya sengsara, entah seperti apa rasanya aku tak pernah tau. Tertawa dan gembira merupakan makanan pokok dikehidupanku.
Welterusten lieve, 've gegeten?” suara merdu itu membuyarkan lamunanku tentang orang-orang yang tengah sengsara akibat tamparan dunia
“Apa yang kau masak hari ini sayang?” Aku menyambutnya dengan kecupan sehangat mentari dikening putih nan mulus
“Jamur Putih Italian Alba Truffle”
“Yah, aku suka makanan itu”
Ja lieve, kita makan bersama di dalam”
Aku beranjak dari kursi goyang penebar keindahan. Makanan yang tersaji menggugah selera dan kembali menebar imaji.
Ik mis IndonesiĆ«?” Istriku memecah hening kenikmatan
Wat zeg je schat?” Aku terperangah
Ik mis IndonesiĆ«”
“Negeri kandang koruptor itu kau rindukan?”
“Iya Pah, aku merindukannya, bisa kan besok kita ke Indonesia sebentar? Aku rindu makanan, tempat indah, dan suasana yang tak pernah kutemui disini sebelumnya”
“Baiklah kita besok akan kesana sayang, sekarang sebaiknya kita tidur untuk sedikit menambah stamina kita untuk esok” Aku memapah istriku dengan manja menuju kamar.
“Pah, apa tak sebaiknya kita tinggal di Indonesia saja?”
“Apa yang kamu katakan, bukankah kita sudah bahagia disini?”
“Aku tak suka”
“Beraninya kamu bicara seperti itu, kemewahan yang kuberikan ternyata tak pernah kau sukai” Aku mulai terpancing emosi
“Aku tak suka degan kemewahan yang kau berikan, aku tak butuh kemewahan, aku hanya butuh kebersamaan, disini kita tak pernah merasakan bagaimana indahnya bersosialisasi, disini kita hidup masing-masing”
“Kurang ajar kau” Sebuah tamparan melayang pada pipi mulus istriku
“Aku tak menyangka, kau berani seperti ini, kau menamparku” Istriku berlari dengan isak tangis yang tak terhenti
“Maafkan aku sayang”
Aku mengejarnya dengan tangisan penyesalan. Namun alangkah malang nasibku, aku terpeleset ditangga saat mengejarnya. Aku tak ingat apa-apa lagi. Entah berapa lama aku pingsan aku tak tau. Hanya saja ketika sadar yang kulihat hanya lantai koran, dinding kardus dan atap besi.
“Kamu tadi pingsan Mas” Istriku sembari menyodorkan segelas air.


*Catatan
Welterusten lieve, 've gegeten : Selamat malam sayang, sudah makan?
Ja lieve : Iya sayang
Ik mis Indonesiƫ : Aku Rindu Indonesia
Wat zeg je schat? : Apa yang kamu katakan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar