Karya : Rezzhna Ombak
Hidup ini indah jika
menikmatinya, akan terasa berat jika kita membebaninya dengan
pemikiran-pemikiran berbau sampah. Bermimpi boleh saja, asal jangan jadikan
bermimpi itu sebagai profesi. Bermimpi itu hanya sebagai selingan dikehidupan
kalian, agar tidak terlalu jenuh dengan perjalanan usia yang tengah ditempuh.
Tapi itu semua tak berlaku untukku. Aku sudah mewujudkan semua mimpi, jadi tak
ada lagi impian-impian konyol yang mengganggu.
Villa Leopolda dengan istri cantik nan setia dan secangkir bahagia, selalu tersaji dipagi indah kota Belgia. Villa bergaya Riviera Prancis ini aku beli sekitar dua tahun yang lalu dari milyuner asal Rusia, Mikhail Prokhorov dengan harga $736 juta. Mungkin hanya mimpi bagi kalian memiliki uang sebanyak itu. Indah memang menjadi orang terkaya di dunia. Setiap hari kerjaku hanya meracik diksi dengan sedikit bumbu larik ilusi. Sehingga mudah bagiku merangkai sajak meski yang terhempas diujung malam sekalipun. Tak pernah rasanya aku mengalami yang namanya sengsara, entah seperti apa rasanya aku tak pernah tau. Tertawa dan gembira merupakan makanan pokok dikehidupanku.
Villa Leopolda dengan istri cantik nan setia dan secangkir bahagia, selalu tersaji dipagi indah kota Belgia. Villa bergaya Riviera Prancis ini aku beli sekitar dua tahun yang lalu dari milyuner asal Rusia, Mikhail Prokhorov dengan harga $736 juta. Mungkin hanya mimpi bagi kalian memiliki uang sebanyak itu. Indah memang menjadi orang terkaya di dunia. Setiap hari kerjaku hanya meracik diksi dengan sedikit bumbu larik ilusi. Sehingga mudah bagiku merangkai sajak meski yang terhempas diujung malam sekalipun. Tak pernah rasanya aku mengalami yang namanya sengsara, entah seperti apa rasanya aku tak pernah tau. Tertawa dan gembira merupakan makanan pokok dikehidupanku.
“Welterusten lieve, 've gegeten?” suara
merdu itu membuyarkan lamunanku tentang orang-orang yang tengah sengsara akibat
tamparan dunia
“Apa yang kau masak hari ini sayang?”
Aku menyambutnya dengan kecupan sehangat mentari dikening putih nan mulus
“Jamur
Putih Italian Alba Truffle”
“Yah, aku suka makanan itu”
“Ja lieve,
kita makan bersama di dalam”
Aku beranjak dari kursi goyang penebar
keindahan. Makanan yang tersaji menggugah selera dan kembali menebar imaji.
“Ik mis IndonesiĆ«?”
Istriku memecah hening kenikmatan
“Wat zeg je schat?”
Aku terperangah
“Ik mis IndonesiĆ«”
“Negeri kandang koruptor itu kau
rindukan?”
“Iya Pah, aku merindukannya, bisa
kan besok kita ke Indonesia sebentar? Aku rindu makanan, tempat indah, dan
suasana yang tak pernah kutemui disini sebelumnya”
“Baiklah kita besok akan kesana
sayang, sekarang sebaiknya kita tidur untuk sedikit menambah stamina kita untuk
esok” Aku memapah istriku dengan manja menuju kamar.
“Pah, apa tak sebaiknya kita
tinggal di Indonesia saja?”
“Apa yang kamu katakan, bukankah
kita sudah bahagia disini?”
“Aku tak suka”
“Beraninya kamu bicara seperti
itu, kemewahan yang kuberikan ternyata tak pernah kau sukai” Aku mulai
terpancing emosi
“Aku tak suka degan kemewahan
yang kau berikan, aku tak butuh kemewahan, aku hanya butuh kebersamaan, disini
kita tak pernah merasakan bagaimana indahnya bersosialisasi, disini kita hidup
masing-masing”
“Kurang ajar kau” Sebuah tamparan
melayang pada pipi mulus istriku
“Aku tak menyangka, kau berani
seperti ini, kau menamparku” Istriku berlari dengan isak tangis yang tak
terhenti
“Maafkan aku sayang”
Aku mengejarnya dengan tangisan penyesalan.
Namun alangkah malang nasibku, aku terpeleset ditangga saat mengejarnya. Aku
tak ingat apa-apa lagi. Entah berapa lama aku pingsan aku tak tau. Hanya saja
ketika sadar yang kulihat hanya lantai koran, dinding kardus dan atap besi.
“Kamu tadi pingsan Mas” Istriku
sembari menyodorkan segelas air.
*Catatan
Welterusten lieve, 've gegeten : Selamat malam sayang, sudah
makan?
Ja lieve : Iya sayang
Ik mis Indonesiƫ : Aku Rindu Indonesia
Wat zeg je schat?
: Apa yang kamu katakan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar