Minggu, 19 Mei 2013

Negeri Janji



Karya : Rezzhna Ombak

Aku masih ingat saat mereka berkoa-koar menebar benih-benih janji yang kelak akan mereka panen menjadi lembaran rupiah. Dan masih tergambar jelas dalam benak mahar seribu janji yang mereka berikan, yang kelak ketika aku dicerai nanti mahar itu akan menjadi pasti. Tapi bukan untuk diriku, melainkan untuk diri mereka sendiri. Aku juga masih ingat saat mereka memeluk tubuhku yang bermandikan keringat tanpa rasa jijik. Namun hanya sementara. Ternyata, aku hanya dijadikan ganjal kursi. Aih, kenapa aku baru sadar?
***
“Bapak dan Ibu Capres, janji apa yang akan anda berikan kali ini, saya ingin membandingkan dahulu janji-janji yang dimaharkan oleh para Capres-capres semua. Biar saya, nanti tidak keliru memilih pemimpin yang bijak” Aku bertanya pada para capres dengan sunggingan senyum sinis.
“Saya tidak akan banyak berjanji, tapi saya hanya akan memberikan bukti” Capres berbaju Kuning itu menjawab.
“Bukan Janji Tapi Bukti!!” Para Capres menjawab secara serentak.
“Aih, itu akan sulit bagi kami untuk memilih dan tidak semua orang mengenal anda-anda semua, jadi itung-itung salam perkenalan Dan bukankah semuanya sudah tau, bahwa salah satu persyaratan menjadi pemimpin di Negeri Janji ini adalah harus memiliki janji? Jika anda-anda semua tidak punya janji berarti tidak layaklah kalian menjadi pemimpin kasta tertinggi dinegeri ini, yaitu PRESIDEN”
“Sebut saja apa yang kau inginkan? Uang? Silahkan kau tulis dikertas kosong jumlah yang kau inginkan, akan segera kami cairkan” Capres berbaju biru itu memberikan tawaran.
“Hey, kalian bersekongkol ya? Jadi nanti kalian semua akan iuran untuk membayarku sebagai jaminan untuk tutup mulut? Hahahaaha, kalau misalkan aku mencari kertas terpanjang di negeri ini yang terhubung dari Sumbang ujung timur negeri kita sampai ke Meroket yang ada di ujung barat negeri ini, lalu aku tulis semuanya dengan angka sembilan sampai penuh dikertas itu, apakah kalian sanggup membayarku?” Desaku dengan nada centil.
“Kau ini orang goblok” Jawab mereka bersamaan sembari menatapku dengan amarahnya.
“Hihihihi, apakah kalian tidak takut kalo aku pergi ke musola-musola mengambil mikrofon dan mengumumkan bahwa semua Capres Negeri Janji yang sekarang, tidak layak menjadi seorang pemimpin?”
“Jangan, jangan lakukan itu. Kami akan menuruti apa yang kau inginkan” Capres berbaju Merah itu menjawab penuh ketakutan.
“Baiklah, aku hanya ingin kalian tidak mencalonkan diri sebagai PRESIDEN, biar kita lihat bagaimana negeri kita jika tanpa sosok seorang pemimpin. Baikkah? Atau semakin buruk?”
“Hey, hey, hey, semua Negara dibelahan dunia ini memiliki pemimpin Bung, apakah kau tidak pernah mengenyam bangku pendidikan? Dan kau pun pasti tahu Negara kita pun semenjak merdeka pada Tanggal 17 Agustus Tahun 5491 silam sudah memiliki pemimpin, dan kau pun pasti mengenal siapa pemimpin Negara kita itu” Si baju Merah kembali menjawab.
“Pendidikan hanya milik orang-oang yang berduit saja. Undang-undang yang menjamin hak pendidikan semua kalangan hanyalah sampah belaka” Aku mulai terpancing emosi.
“Kau jangan sombong dulu Merah, sudah jelas Bung dia tak pantas jadi pemimpin, dia selalu dinaungi kesombongannya hanya karena dia bersembunyi dibalik sejarah, dan bukankah yang pantas menjadi pemimpin itu hanyalah seorang laki-laki?” Si baju Oranye dengan gambar Burung Kondor di saku kanan bajunya itu mulai angkat bicara.
“Untuk apa kalian bertengkar, tak guna lebih baik kita pikirkan bagaimana caranya mensejahterakan rakyat kita” Si Biru kembali angkat bicara.
“Aku setuju denganmu, alangkah indahnya kalau kita berkoalisi. Apakah kau setuju?” Si Kuning memberikan penawaran pada si Biru.
“Baiklah aku setuju denganmu”
Si Biru dan Kuning bersalaman sebagai tanda kesepakatan mereka untuk berkoalisi.
“Nah, yang seperti inilah yang aku inginkan, janji-janji yang kalian tebar” Aku mulai kembali rileks setelah tadi diam mencoba menenangkan pikiran.
“Kau pandai sekali menjilat mereka, dan kau Bung mudah sekali percaya pada omongan mereka” Telunjuk si Merah lurus mengarah padaku.
“Hahaha, kau seperti kebakaran jenggot” Si Oranye melejek si Merah.
“Aku wanita, tak punya jenggot” Si Merah terpancing amarah.
“Lantas apa yang hitam dibawah bibirmu itu, yang coba kau tutup dengan Make Up tebalmu? Walaupun bentuknya tak seperti jenggot, tapi dia hitam seperti jenggot”
“Kurang ajar kau, beraninya kau menghinaku. Ketika kau menghinaku sama saja berarti dengan kau menghina sejarah Negara kita”
“Tak usahlah kau so idealis”
Si Merah dan Oranye tak henti-hentinya bertengkar. Sedangkan, si Biru dan Kuning yang sudah berkoalisi sibuk mengatur siasat untuk mengalahkan pesaing-pesaingnya. Mereka mengumpulkan mahar-mahar yang dapat mebuat rakyat mabuk kepayang. Dan aku, hanya tertawa di pojok imaji menyaksikan alangkah lucunya negeri ini. Aku berjalan diantara riuh percakapan mereka. Menertawakan, menghilang diantara duka jelata dan tawa para penguasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar