Karya : Rezzhna Ombak
Aku masih ingat saat mereka berkoa-koar menebar benih-benih janji yang kelak akan mereka panen menjadi lembaran rupiah. Dan masih tergambar jelas dalam benak mahar seribu janji yang mereka berikan, yang kelak ketika aku dicerai nanti mahar itu akan menjadi pasti. Tapi bukan untuk diriku, melainkan untuk diri mereka sendiri. Aku juga masih ingat saat mereka memeluk tubuhku yang bermandikan keringat tanpa rasa jijik. Namun hanya sementara. Ternyata, aku hanya dijadikan ganjal kursi. Aih, kenapa aku baru sadar?
***
“Bapak
dan Ibu Capres, janji apa yang akan anda berikan kali ini, saya ingin
membandingkan dahulu janji-janji yang dimaharkan oleh para Capres-capres semua.
Biar saya, nanti tidak keliru memilih pemimpin yang bijak” Aku bertanya pada
para capres dengan sunggingan senyum sinis.
“Saya
tidak akan banyak berjanji, tapi saya hanya akan memberikan bukti” Capres
berbaju Kuning itu menjawab.
“Bukan
Janji Tapi Bukti!!” Para Capres menjawab secara serentak.
“Aih,
itu akan sulit bagi kami untuk memilih dan tidak semua orang mengenal anda-anda
semua, jadi itung-itung salam perkenalan Dan bukankah semuanya sudah tau, bahwa
salah satu persyaratan menjadi pemimpin di Negeri Janji ini adalah harus memiliki
janji? Jika anda-anda semua tidak punya janji berarti tidak layaklah kalian
menjadi pemimpin kasta tertinggi dinegeri ini, yaitu PRESIDEN”
“Sebut
saja apa yang kau inginkan? Uang? Silahkan kau tulis dikertas kosong jumlah
yang kau inginkan, akan segera kami cairkan” Capres berbaju biru itu memberikan
tawaran.
“Hey,
kalian bersekongkol ya? Jadi nanti kalian semua akan iuran untuk membayarku
sebagai jaminan untuk tutup mulut? Hahahaaha, kalau misalkan aku mencari kertas
terpanjang di negeri ini yang terhubung dari Sumbang ujung timur negeri kita sampai
ke Meroket yang ada di ujung barat negeri ini, lalu aku tulis semuanya dengan angka
sembilan sampai penuh dikertas itu, apakah kalian sanggup membayarku?” Desaku
dengan nada centil.
“Kau
ini orang goblok” Jawab mereka bersamaan sembari menatapku dengan amarahnya.
“Hihihihi,
apakah kalian tidak takut kalo aku pergi ke musola-musola mengambil mikrofon
dan mengumumkan bahwa semua Capres Negeri Janji yang sekarang, tidak layak
menjadi seorang pemimpin?”
“Jangan,
jangan lakukan itu. Kami akan menuruti apa yang kau inginkan” Capres berbaju
Merah itu menjawab penuh ketakutan.
“Baiklah,
aku hanya ingin kalian tidak mencalonkan diri sebagai PRESIDEN, biar kita lihat
bagaimana negeri kita jika tanpa sosok seorang pemimpin. Baikkah? Atau semakin
buruk?”
“Hey,
hey, hey, semua Negara dibelahan dunia ini memiliki pemimpin Bung, apakah kau
tidak pernah mengenyam bangku pendidikan? Dan kau pun pasti tahu Negara kita
pun semenjak merdeka pada Tanggal 17 Agustus Tahun 5491 silam sudah memiliki
pemimpin, dan kau pun pasti mengenal siapa pemimpin Negara kita itu” Si baju
Merah kembali menjawab.
“Pendidikan
hanya milik orang-oang yang berduit saja. Undang-undang yang menjamin hak
pendidikan semua kalangan hanyalah sampah belaka” Aku mulai terpancing emosi.
“Kau
jangan sombong dulu Merah, sudah jelas Bung dia tak pantas jadi pemimpin, dia
selalu dinaungi kesombongannya hanya karena dia bersembunyi dibalik sejarah,
dan bukankah yang pantas menjadi pemimpin itu hanyalah seorang laki-laki?” Si
baju Oranye dengan gambar Burung Kondor di saku kanan bajunya itu mulai angkat
bicara.
“Untuk
apa kalian bertengkar, tak guna lebih baik kita pikirkan bagaimana caranya
mensejahterakan rakyat kita” Si Biru kembali angkat bicara.
“Aku
setuju denganmu, alangkah indahnya kalau kita berkoalisi. Apakah kau setuju?”
Si Kuning memberikan penawaran pada si Biru.
“Baiklah
aku setuju denganmu”
Si
Biru dan Kuning bersalaman sebagai tanda kesepakatan mereka untuk berkoalisi.
“Nah,
yang seperti inilah yang aku inginkan, janji-janji yang kalian tebar” Aku mulai
kembali rileks setelah tadi diam mencoba menenangkan pikiran.
“Kau
pandai sekali menjilat mereka, dan kau Bung mudah sekali percaya pada omongan
mereka” Telunjuk si Merah lurus mengarah padaku.
“Hahaha,
kau seperti kebakaran jenggot” Si Oranye melejek si Merah.
“Aku
wanita, tak punya jenggot” Si Merah terpancing amarah.
“Lantas
apa yang hitam dibawah bibirmu itu, yang coba kau tutup dengan Make Up tebalmu?
Walaupun bentuknya tak seperti jenggot, tapi dia hitam seperti jenggot”
“Kurang
ajar kau, beraninya kau menghinaku. Ketika kau menghinaku sama saja berarti
dengan kau menghina sejarah Negara kita”
“Tak
usahlah kau so idealis”
Si
Merah dan Oranye tak henti-hentinya bertengkar. Sedangkan, si Biru dan Kuning
yang sudah berkoalisi sibuk mengatur siasat untuk mengalahkan
pesaing-pesaingnya. Mereka mengumpulkan mahar-mahar yang dapat mebuat rakyat
mabuk kepayang. Dan aku, hanya tertawa di pojok imaji menyaksikan alangkah
lucunya negeri ini. Aku berjalan diantara riuh percakapan mereka. Menertawakan,
menghilang diantara duka jelata dan tawa para penguasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar