Selasa, 21 Mei 2013

Badai Asmara


Karya : Rezzhna Ombak

Ketika perbedaan menjadi halangan, aku tak dapat berbuat apa-apa, hanya bergelut dengan resah dan bercengkrama dengan gelisah. Kelam, risau semuanya menari dalam fikiranku, bergelut dengan keluh kesah. Gundah gulana menjadi sahabat dalam menikmati secangkir kelam.
“Rezzhna kita harus tetap bersama, kita harus tetap merajut kisah cinta ini, kita jangan menyerah sampai disini, aku yakin suatu saat nanti kebahagiaan akan menyambut kita, layaknya sendok dan garpuh kita harus tetap berdampingan” Regina terus menyemangatiku.
“Tapi kapan, rasa sayangku sudah tak bisa lagi aku tunda, rasa cintaku layaknya sumur tanpa dasar”
“Jadi, kau akan menyerah sampai disini, rasa sayangmu ternyata kalah besar oleh rasa putus asa mu?” Regina putus asa dengan deraian air matanya mendengar jawabanku.
“Aku mencintaimu Regina, tapi kau harus ingat yang kita lawan adalah orang tua kita”
“Lantas? Aku yakin badai asmara ini akan cepat berlalu dan menjadi sendalu yang menghapus risau kita”
“Tidak pernah sebelumnya aku membantah perintah orang tuaku”
“Baiklah, berarti kau telah menghakimi perasaanmu. Dan kau telah memenjarakan perasaanku, aku benar-benar terbelenggu akan rindu yang senantiasa menjadi nafas kehidupanku”
“Aku tidak ingin berpisah denganmu Regina, aku butuh kamu. Aku berjelaga dibalik temaram jika tanpamu”
“Sebuah kebohongan yang indah sayang, bolehkah aku memelukmu untuk terakhir kalinya?”
“Tidak, ini bukan pelukan terakhir, kita akan tetap berusaha bersama. Aku tak ingin senja ini menjadi duka, dan pelukan ini menjadi yang terakhir. Genggam tanganku, rasakan ketulusan ini” Binar air mataku terjatuh tak dapat lagi kutahankan.
Aku dan Regina berpelukan hingga senja dihujam rinai air mata.
***
Jam di arlojiku sudah menunjuk angka 23.39, aku mengendap masuk kedalam rumahku berharap Ayah tidak mengetahui kedatanganku yang pergi tanpa seizinnya tadi.
“Kau masih menemui wanita itu?” Suara ayah menyambutku bersamaan dengan lampu yang dinyalakannya.
“I…iya ayah” Jawabku terbata.
“Kau masih ingin kuanggap sebagai anak?”
“Maksud ayah?”
“Jika kau masih ingin kuanggap sebagai anakku, jauhi wanita itu”
“Tapi ayah, aku mencintainya”
“Apakah jika kau hidup tanpa cintanya kau akan mati?”
“Ayah memang tidak pernah mengerti perasaanku”
“Aku mengerti perasaanmu, tapi carilah wanita yang satu keyakinan denganmu, aku tak ingin kau terjerumus kedalam hal-hal yang tidak diinginkan”
“Ayah hanyalah menjadi orang yang ikut-ikutan, ayah sebenarnya tak tau apa itu keyakinan”
“Lancang kau” Ayah geram.
***
“Kelopak tak kuasa membendung lara hanya satu butir air mata menjadi tanda dalam duka” Ungkapku lirih pada Regina.
“Petikan maut mengantarkan duka lara pada rembulan dicelah dedaunan yang beranjak tua, dawai gitar tanpa senar terasa nukmat meski menyayat. Terimakasih sayang atas keindahan yang selama ini kau selimutkan dihatiku”
“Duka bertabur warna pada pundi-pundi khatulistiwa, ingatkah kau tentang rembulan yang bernyanyi kerinduan untuk sang punguk”
“Sungguh manis semua lisan yang kau ucapkan. Tapi, bisakah kau jelaskan sekarang apa keputusanmu?”
“Meski kah aku jelaskan, jika hanya mengundang air ma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar