Karya : Rezzhna Ombak
Ketika perbedaan menjadi
halangan, aku tak dapat berbuat apa-apa, hanya bergelut dengan resah dan
bercengkrama dengan gelisah. Kelam, risau semuanya menari dalam fikiranku, bergelut
dengan keluh kesah. Gundah gulana menjadi sahabat dalam menikmati secangkir
kelam.
“Rezzhna kita harus tetap
bersama, kita harus tetap merajut kisah cinta ini, kita jangan menyerah sampai
disini, aku yakin suatu saat nanti kebahagiaan akan menyambut kita, layaknya
sendok dan garpuh kita harus tetap berdampingan” Regina terus menyemangatiku.
“Tapi kapan, rasa sayangku sudah
tak bisa lagi aku tunda, rasa cintaku layaknya sumur tanpa dasar”
“Jadi, kau akan menyerah sampai
disini, rasa sayangmu ternyata kalah besar oleh rasa putus asa mu?” Regina
putus asa dengan deraian air matanya mendengar jawabanku.
“Aku mencintaimu Regina, tapi kau
harus ingat yang kita lawan adalah orang tua kita”
“Lantas? Aku yakin badai asmara
ini akan cepat berlalu dan menjadi sendalu yang menghapus risau kita”
“Tidak pernah sebelumnya aku
membantah perintah orang tuaku”
“Baiklah, berarti kau telah
menghakimi perasaanmu. Dan kau telah memenjarakan perasaanku, aku benar-benar
terbelenggu akan rindu yang senantiasa menjadi nafas kehidupanku”
“Aku tidak ingin berpisah
denganmu Regina, aku butuh kamu. Aku berjelaga dibalik temaram jika tanpamu”
“Sebuah kebohongan yang indah sayang,
bolehkah aku memelukmu untuk terakhir kalinya?”
“Tidak, ini bukan pelukan
terakhir, kita akan tetap berusaha bersama. Aku tak ingin senja ini menjadi
duka, dan pelukan ini menjadi yang terakhir. Genggam tanganku, rasakan
ketulusan ini” Binar air mataku terjatuh tak dapat lagi kutahankan.
Aku dan Regina berpelukan hingga
senja dihujam rinai air mata.
***
Jam di arlojiku sudah menunjuk
angka 23.39, aku mengendap masuk kedalam rumahku berharap Ayah tidak mengetahui
kedatanganku yang pergi tanpa seizinnya tadi.
“Kau masih menemui wanita itu?”
Suara ayah menyambutku bersamaan dengan lampu yang dinyalakannya.
“I…iya ayah” Jawabku terbata.
“Kau masih ingin kuanggap sebagai
anak?”
“Maksud ayah?”
“Jika kau masih ingin kuanggap
sebagai anakku, jauhi wanita itu”
“Tapi ayah, aku mencintainya”
“Apakah jika kau hidup tanpa
cintanya kau akan mati?”
“Ayah memang tidak pernah
mengerti perasaanku”
“Aku mengerti perasaanmu, tapi
carilah wanita yang satu keyakinan denganmu, aku tak ingin kau terjerumus
kedalam hal-hal yang tidak diinginkan”
“Ayah hanyalah menjadi orang yang
ikut-ikutan, ayah sebenarnya tak tau apa itu keyakinan”
“Lancang kau” Ayah geram.
***
“Kelopak tak kuasa membendung lara
hanya satu butir air mata menjadi tanda dalam duka” Ungkapku lirih pada Regina.
“Petikan maut mengantarkan duka
lara pada rembulan dicelah dedaunan yang beranjak tua, dawai gitar tanpa senar
terasa nukmat meski menyayat. Terimakasih sayang atas keindahan yang selama ini
kau selimutkan dihatiku”
“Duka bertabur warna pada
pundi-pundi khatulistiwa, ingatkah kau tentang rembulan yang bernyanyi
kerinduan untuk sang punguk”
“Sungguh manis semua lisan yang
kau ucapkan. Tapi, bisakah kau jelaskan sekarang apa keputusanmu?”
“Meski kah aku jelaskan, jika hanya mengundang
air ma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar