Karya: Fadri Irman
Sinopsis
Aku senang dalam dunia tanpa kata, aku tabah penuh harapan, untung
malang menambah gairah, untuknya akan ku pikul segala beban derita. Aku
rela memikul segala asalkan nasib jangan merenggutnya dariku, tiada ku
hirau pukulan malapetaka, suka cita dalam duka citaku.
Penjajahan telah menghancurkan sistem kepercayaan masyarakat Lebak,
sehingga membuat kepedihan akibat rakusnya penguasa Negri. Multatuli
adalah Kolonial Belanda yang haus akan sanjungan rakyat Parung Kujang.
Cara licik dan busuk di pilih agar tujuanna tercapai yaitu dengan
memprovokasi rakyat pribumi bahwa Adipati sangat kejam dalam memimpin
rakyat, alhasil penduduk pribumi kagum karenanya dan menganggap bahwa
Multatuli adalah pahlawan yang sebenarnya.
Pemerasan, penindasan, perampasan hak, dan asmara berkecamuk hancur
lebur menjadi fenomena yang tak jelas keberadaannya. Hal ini membuat
Saijah harus merantau ke Lampung untuk mencari uang agar dapat menikahi
Adinda untuk memulai hidup baru bersamanya yang berjanji akan kembali
setelah cukup tiga kali dua belas bulan.
Semenjak kepergian Saijah, Adinda merasa hidupnya hampa kerna sebagai
perempuan yang normal ia butuh cinta, belaian kasih sayang, dan
kehangatan agar kebutuhan biologisnya terpenuhi. Karna alas an itulah
berkali-kali Adinda melakukan hubungan mesum dengan Adipati.
Melihat kecantikan Adinda Multatuli pun tergoda dan mencari cara agar
dapat tidur bersamanya melewati malam-malam semu dalam buaian gairah
terlarang. Akhirnya Adinda terjebak dalam perangkap Multatuli. Tanpa di
sadari ketika Adinda dan Multatuli bercumbu dalam indahnya nafsu biru
datanglah Saijah dan memergoki mereka berdua. Saijah murka amarahnya tak
terbendung terjadilah duel yang sangat hebat, Adinda mati di cekik
Saijah, sementara Saijah tewas tertembak timah panas Multatuli.
Lampu menyala kelap-kelip tak beraturan, musik mengantarkan kepedihan
di dalam layar terdengar suara-suara rintihan tentang masa lalu.
Suara-suara : “Aku sudah bosan dengan gelap
gelap adalah kelam
cahaya mengintip kegelapan, cahaya adalah kehidupan”
Tak lama keluarlah Saijah dan Adinda dengan gerakan romantisme.
Saijah : “Dengan bahasa yang rapih, gaya yang anggun, dan sikap yang
gagah keadilan telah diungkapkan oleh para penguasa tanpa ada ungkapan
kekejaman di wajah mereka, mereka keluarkan keputusan yang tidak adil
bagi rakyat”
Adinda : “Jadi kau hendak pergi juga?”
Saijah : “Mau bagaimana lagi, sawah dan kerbau saudara kita di rampas
secara paksa. Mereka singkirkan apa yang menghadangnya Aku tak ingin
kau jadi bahan rampasan juga. Adinda aku akan merantau mencari bekal
untuk biaya pernikahan kita, tunggulah aku di sini, di hutan jati di
bawah pohon ketapang”
Adinda : “Aku akan selalu menantimu Saijah”.
(Lalu mereka berisahlah dengan gerakan-garakan yang mengambarkan
pergantian tempat dan waktu. Tak lama keluarlah Saijah menggabarkan
suasuana kerinduan)
Adinda : “Saijah, suda 3 kali dalam 12 bulan kau tak kunjung datang
juga di mana kau Saijah. Siang-malam aku selalu kedinginan ke mana lagi
harus ku salurkan hasrat ku ini Saijah. maafkan aku Saijah, aku telah
menghianati cintamu walau tubuh-tubuh ini telah dinikmati oleh para
penguasa tapi batinku hanya untukmu Saijah, kebun ini terasa kering
hanya tuanku Multatulilah yang selalu menyiraminya.” (Masuk ke dalam
kegelapan)
Adegan II
(terjadi dialog secara cepat antara Multatuli dan Adipati di kediaman
Multatuli, menjadi peristiwa layaknya suasana di dalam rapat yang
tertutup)
Multatuli : “Kenapa kau peras kaum pribumi Adipati! Bukankah mereka juga saudaramu!”
Adinda : “Aku hanya menuruti perintahmu. Sawah dan kerbau mereka di
rampas sacara paksa. Itu ku jadikan sebagai upeti, tanda baktiku padamu.
Kalau aku tak menyetor upeti, aku dan kaum pribumi sudah kau bunuh dan
menjadi santapan burung bangkai. Sebenarnya aku tak mau menindas, tetapi
mau bagaimana lagi. Sekarang kau jadi bahan sanjungan setelah kau
provokasi penduduk pribumi, kau peralat semunya dengan sistem adu domba,
kau jelek-jelekan aku. Dasar penjilat!”
Multatuli : “Kurang ajar kau Adipati! Akan ku adukan perbuatanmu pada residen Best van Kemper”
Adipati : “ Kenapa kau mesti marah, dasar ular berkepala dua!”
Multatuli : “Enyah kau dari hadapanku sebelum peluru ini menembus jantungmu!”
Adipati : “Baik, baik tuan” (penuh ketakutan dan langsung keluar).
(Suara tokek terdengar)
Multatuli : “ (sambil mencari suaea) ada tokek, ada tokek, tokek Rangkasbitung.
Adegan III
(menggambarkan suasana rumah Multatuli)
Multatuli : “Adinda bangkit kau dari kegelapan, Adinda bangkit kau
dari kegelapan” Hidup sekarang telah kembali kepada masa silam”
(Keluarlah Adinda)
Adinda : “Hidupku sudah gelap tak tentu arah, karena aku telah menghianati Saijah dan keluargaku”
Multatuli : “Sudahlah! kau lupakan itu yang pasti cita –citaku tercapai”
Adinda : “Maksudmu?”
Multatuli : “Ya aku hidup untuk bermain cantik dan ingin di catat
oleh sejarah. Hahahahaha” banyak pengaduan-pengaduan dari rakyat
pribumi. Lalu ku provokasi penduduk pribumi dengan penindasan yang
dilakukan oleh Demang, dan Adipati hahahahaha. Lalu kutulis surat kepada
Best Van Kemper tentang kepedihan rakyat Parangkujang, Bahadur, Lebak
dan Rangkasbitung. Walau banyak yang menentang tapi usahaku tidak
sia-sia. Hahahahahah ”
Adinda : “Betapa mulyanya hatimu Tuan”.
Multatuli : “Ya karna tujuan ku hanya satu”
Adinda : “ Apa itu Tuan?”
Multatuli : “Ya aku hanya ingin mendapatkanmu dari pada kau di jamah
oleh budak-budak ku lebih baik kau dijamah oleh ku. Hahahahahaaa”
Adinda : “Oh! jadi kau sama bejadnya dengan yang lain, dasar penjajah tetap lah penjajah”.
Multatuli : “Ya karna sudah suratan sejarah negerimu harus dijajah!”
(Lalu Multatuli dan Adinda bercumbu rayu melepas hasrat, namun mereka
tak sadar bahwa Saijah memergokinya saat pulang dari perantauan)
Saijah : “Adinda jadi ini yang kau lakukan sepeninggalku! kau benar-benar telah menghianati cinta ku Adinda”
Adinda : (ketakutan) “Maafkan aku Saijah”
Saijah : (geram) “Aku mendengar kabar dari para pelancong. Bahwa kau asa main dengan Adipati, tapi nyatanya kau........”
Adinda : “Aku terpaksa melakukannya”
Saijah : “Tapi kau menikmatinya kan!”
Adinda : “Karena kau lama meninggalkan ku dan kalau ada selalu bersikap dingin padaku”
Saijah : (Menampar Adinda) “Dasar perempuan jalang!”
“Multatuli kau adalah penjilat, kurang ajar! kubunuh kau biadap!”
Adinda : “(menghalangi Saijah) “Jangan Saijah!”
Saijah : (mencekik Adinda) “Kau sama saja seperti binatang dan kau Multatuli!”
(Saijah menyerang Multatuli dengan hati yang menggumpal emosi
terjadilah perkelahian yang sangat sengit mengakibatkan Saijah mati oleh
pelurunya Multatuli)
Multatuli : “Aku Multatuli hidupku ingin di baca dan ingin di tulis
oleh sejarah hahaaaaaaaa. Akan kuingat kepedihan kaum peribumi.
Hahahahahahaaaaa.” (mecair)
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar